Thursday, March 22, 2012

REad the SIGN of the REd SIGN



“Hidup itu tidak adil,” begitu kalimat yang terujar dari seorang yang berlabelkan manager sebuah perusahaan swasta, saat mengumpulkan pegawai trainee mereka yang sudah hampir genap dua tahun mengabdi. Penuh makna. Kalimat yang mengisyaratkan bahwa objektivitas bisa saja ditenggelamkan oleh subjektivitas. Dan departemen yang seharusnya berpegang teguh pada dasar-dasar objektivitas dalam sebuah penilaian kinerja ternyata tidak mampu meredam opini pribadi bos kepada anak buahnya.

Gilak sok iyee banget yaa saya ngomongin soal objek, subjek, kinerja, dan bla bla bla. Gak kok. Sebenarnya bukan itu inti yang ingin disampaikan. Saya bersama teman-teman (karena mereka memang bukan hanya sebagai rekan kerja) adalah “pegawai pertama” yang bekerja untuk perusahaan swasta ini. Dengan semangat (I prefer to name it with “semangat” to “kepolosan” or “kebodohan”) menciptakan perubahan paradigma berpikir masyarakat, menginspirasi untuk lebih mencintai Indonesia, sehingga kami dengan berani menandatangani kontrak kerja selama sekian tahun.

Dan tibalah saatnya kami memasuki jenjang dimana kami akan menanggalkan predikat “trainee” di ID kami. Belum sekian tahun berlalu, kami gundah. Wajar. Kami menuntut penawaran yang lebih baik, karena sebagai trainee, kami dituntut melakukan pekerjaan yang sama seperti para profesional lakukan. Mengeluh? Mungkin iya. Tidak adil? Mungkin iya. Maka ketika penawaran yang (baru akan) diajukan dirasakan tidak sesuai dengan yang diharapkan, tapi sudah kepalang tanggung cinta dengan pekerjaannya, mereka hanya bisa berdoa bahwa akan ada keajaiban. Entah dalam bentuk negosiasi, diskusi, kebijakan, atau apapunlah itu namanya.

Kenapa mereka? Yaaaa... karena saya tidak seperti teman-teman saya yang sudah kepalang cinta dengan pekerjaannya, atau passion bahasa kerennya. Di samping saya tidak mau stuck di perusahaan ini selama sekian tahun itu, saya belum merasakan kecintaan saya terhadap pekerjaan saya sekarang. Setengah hati. Seorang teman yang berjasa mengenalkan industri ini pada saya bertanya “kenapa che? Kok tiba-tiba? Perasaan dulu gue liat lo excited loh di dunia ini,” dan percayalah sayapun bingung kenapa dulu bisa begitu excited dan sekarang menjadi begitu dingin. Mungkin. Mungkin dulu perusahaan belum berkembang seperti sekarang. Mungkin dulu saya benar-benar menjadi seorang trainee. Mungkin dulu pekerjaannya belum memiliki kompleksitas seperti sekarang. Mungkin mosi tidak percaya muncul seiring dengan perkembangan yang terjadi di perusahaan. Mungkin saya sudah bisa merasakan mana pekerjaan yang saya suka mana yang tidak. Entahlah. Yang pasti, saya sudah setengah hati. Dan saya tidak mau menjalani sesuatu dengan setengah hati. Pasti gak ikhlas. Yaa disamping orang tua yang beberapa bulan terakhir ini terus-terusan mengeluh tentang seringnya saya pulang di atas jam 8 malam.

“Kalau tiap bangun pagi udah mulai ngerasa, yaah harus ngantor yaa hari ini, duuhh weekend masih lama yahh, resign.” Begitu seorang teman mencoba membantu kegundahan hati ini. Dan dengan hanya berbekal pengalaman dan ketidaktahuan tentang passion, saya mengajukan resign. Percayalah, saya belum memiliki rencana apapun sepeninggalnya saya dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Dan saya tidak bangga. Sesungguhnya saya gusar. Nekat banget sih, belum tau mau kemana sudah berani pergi. Tapi saya percaya suatu saat nanti saya bisa menemukan apa yang saya cari. Percaya saya tidak hanya bekerja tapi berkarya. Percaya rejeki gak kemana. Hanya butuh keyakinan, usaha, dan doa, maka Tuhan akan selalu memberi jalan bukan? Yaaa pasti gak gampang memang. Tapi terkadang hanya itu yang bisa diandalkan. Dan ketika saat itu tiba, tidak akan ada lagi frase “hidup itu tidak adil”, karena saya selalu percaya Tuhan itu adil.

Tuhan saja bisa adil, kenapa hidup tidak?